Bab 27
Bab 27
Bab 27
Siapa lagi?
Ya Samantha!
Tapi Samara tidak bisa menyebutkan nama itu untuk saat ini, jadi dia hanya bisa menahannya di dalam hati dan berkata dengan keras kepala.
“Tuan Asta, seharusnya kamu sendiri tahu dengan jelas wanita yang mana, dan tidak perlu bertanya padaku.”
Asta memutar matanya dengan malas dan melirik Samara dengan santai.
“Nona Samara, sepertinya kamu punya keluhan yang mendalam terhadapku?”
Samara menyangkal.
“Mana berani.”
Saat dia teringat adegan waktu Asta menciumnya sampai dia kekurangan oksigen, wajah bulat Samara memerah, jantungnya berdegup dengan kencang.
Asta yang menyadari kalau hati wanita dihadapannya sedang berapi-api, berkata dengan acuh tak acuh.
“Hari ini Oliver dan Olivia melakukan mogok makan karena ingin bertemu denganmu, setelah kamu datang, mereka juga sudah tidak bertingkah lagi.
Kalau suatu hari, mereka ingin melakukan hal-hal yang melanggar aturan atau kontrak, apa mereka juga boleh bertingkah seperti hari ini?
Saya bukan tidak memperdulikan mereka, saya hanya tidak ingin mereka tumbuh menjadi anak-anak yang tidak tahu rasa bertanggung jawab.”
Dan saat Asta menyelesaikan kalimatnya, Samara baru menyadari kalau pria yang ada dihadapannya ini…jauh lebih perhatian kepada Oliver dan Olivia dibandingkan dengan perkiraannya.
Sebagai ayah dari kedua anak itu…
Dia sedang mengajari kedua anaknya kalau mereka tidak boleh menggunakan cara yang merusak tubuh mereka untuk menyelesaikan suatu masalah.
Selingah jam kemudian.
Samara baru membuka mulut: “Bagaimanapun mereka masih anak-anak….kamu bisa mendidik
mereka dengan cara yang lebih lembut.”
“Saat mereka mogok makan, cara yang paling lembut adalah memintamu untuk datang kemari.” Asta mengerutkan bibirnya dan bertanya : “Saya ingin kamu kemari, apa kamu akan datang begitu saja?
Dengan alisnya yang sedikit berkerut, dan sepasang mata tajamnya yang begitu daam dan gelap, dia menatap kearah Samara seolah ingin menatap kedalam jiwanya.
Wajah Samara jelas-jelas ditutupi oleh topeng wajahnya, tapi dihadapan Asta, Samara merasa kalau tatapan matanya itu menembus kedalam topeng wajahnya dan dia bisa melihat wajah asli yang bersembunyi dibalik topeng itu.
“Kalau Olivia dan Oliver memerlukanku, saya akan datang.”
“Ini adalah janjimu sendiri, saya harap kamu mengingat setiap kata yang kamu ucapkan.”
“Iya.”
Jari-jari ramping Asta mengambil sendok kecil yang baru saja digunakan Olivia, untuk mengambil sepotong kue mousse cokelat dan memasukkannya ke dalam mulutnya.
“Kamu…..”
“Kenapa?”
Asta menaikkan bibirnya dan menatap Samara dengan tenang.
Mata Samara berkedip, dia tidak tahu bagaimana cara memberitahunya kalau sendok itu sudah pernah dipakai olehnya, dan tempat dimana dia menyendokkan kue itu juga merupakan bekasnya.
Wajah kecilnya memerah dan terasa panas, dia tanpa sadar ingin melarikan diri.
“Saya mau ke toilet.”
Samara berbalik pergi, dan Asia malah bersandar di kursi dengan santai, bibir tipisnya menunjukkan senyuman yang tidak ada sebelumnya.
Pada malam harinya, Olivia dan Oliver kembali meributi Samara untuk membacakan cerita
Meskipun Samara memiliki pengalaman dalam merawat Javier dan Xavier, tapi dalam benaknya dia hanya mengingat cerita Tiga Bubi kecil
Saat dia baru mulai
m eritakan awalnya, dua anak itu sudah menatapnya dengan mata besar dan wajah mereka kelihatan tidak tertarik sedikitpun
Bagaimana ini?
Samara berdehem: “Bibi tidak punya cerita yang menarik, bagaimana kalau saya bernyanyi
untuk kalian?”
Dua anak yang mendengarnya langsung mengangguk bagaikan ulekan yang sedang menumbuk bawang. © 2024 Nôv/el/Dram/a.Org.
Samara menyanyikan lagu tradisional dari Negara Ordine, yang ditulis dalam bahasa Ordine, suaranya memang tidak seindah suara malaikat tapi lembut dan merdu.
Tidak lama kemudian, mata kedua anak itu perlahan-lahan terpejam.
Samara tidak langsung berdiri, malah bersender disana sambil menatap sepasang anak kembar itu.
kalau saja…
Kalau saja kedua anaknya tidak dicelakai oleh Samantha, seharusnya sepasang anak kembarnya juga akan selucu dua anak ini kan?
Mata Samara digenangi air mata saat dia teringat anak yang sudah dikandungnya selama sepuluh bulan dan pada akhirnya tidak bisa dia lindungi.
Setelah menyelimuti kedua anak manis itu dengan baik, Samara berbalik dan hendak pergi, tapi dia malah menemukan sesosok pria yang sudah berdiri sejak tadi didepan pintu kamar.
Air mata Samara disudut matanya tidak sempat dihapus, dan mengalir begitu saja dihadapan