Bad 25
Bad 25
Bab 25
Tapi Elan membiarkan Tasya melakukan apa yang dia mau. Seolah dia juga terpengaruh dengan apapun yang diminum Tasya, dan merasa dia juga akan lepas kendali atas dirinya.
Sepertinya perempuan ini pintar menggoda laki-laki dan suka mencari masalah dengan yang lain.
“Apa kita sudah sampai di rumah sakit?” tanya Elan pada Roy. yang sedang menyetir.
“Kita hampir sampai,” balas Roy sebelum berbelok dan sampai di pintu masuk rumah sakit.
Lalu, Roy segera turun dari mobil dan membukakan pintu bagian belakang mobil untuk bosnya. Elan turun dari mobil dan merapikan pakaiannya lalu membawa perempuan yang ada dalam mobil itu keluar dan menggendongnya masuk ke rumah sakit.
Sepuluh menit kemudian, Tasya berada di kamar VIP rumah sakit. Setelah mendapatkan obat penenang dan diinfus, Tasya akhirnya tenang, dan perlahan menutup matanya, sedangkan wajahnya masih memerah.
Saat itu, Roy memberi Elan tisu. “Tuan Muda Elan, ada bekas darah di leher Anda. Anda harus membersihkannya.”
Elan mengusap lehernya dengan tisu dan melihat bekas darahnya. Gigi perempuan itu setajam gigi vampir!
Setelah Roy pergi, Elan tetap menemani Tasya di sana. Tak berapa lama, Tasya, yang berbaring di ranjang rumah sakit, perlahan mulai sadar dan dia membuka matanya. Tapi, dia terkejut ketika dia menoleh dan melihat laki-laki itu di sampingnya. Material © of NôvelDrama.Org.
“Kamu .” wajah Tasya seketika pucat pasi ketika dia teringat semua yang terjadi di mobil tadi.
“Ini akibatnya kalau kamu tidak menurut.” ujar Elan sinis.
Tasya benar-benar meremehkan sosok Jimmy. Awalnya dia mengira kalau Jimmy tidak akan melakukan apapun padanya kalau dia bilang ada rekan kerja yang menunggunya di luar, tapi dia tidak menyangka kalau Jimmy akan mengabaikan perkataannya.
“Terima kasih. Boleh aku tahu sekarang jam berapa?” tanya Tasya sambil mengangkat kepalanya.
09.30 malam.”
“Aku harus segera pulang.” Tasya tiba-tiba tidak ingin berada di rumah sakit. Dia menatap infus yang sudah setengah penuh.
“Kalau kamu mengkhawatirkan anakmu, aku bisa meminta Roy untuk menjaganya sampai infusmu habis.”
“Itu tidak perlu. Sekarang aku baik-baik saja.” tegas Tasya, dengan sifatnya yang keras kepala itu.
“Lebih baik kamu memikirkan akibatnya kalau kamu tidak menunggu infusnya sampai habis. Bagaimana kalau obatnya bereaksi lagi?” tanya Elan sambil menggerakkan giginya.
Setelah berpikir sejenak, Tasya menatap lasnya. “Boleh minta tolong ambilkan tasku?”
Setelah Elan memberikan tasnya Tasya menanluarkan nongolnun doe man hukumni
seperti tidak terjadi apa-apa. “Ayah, sepertinya aku akan pulang jam 10 malam, atau bisa lebih malam, jadi aku butuh bantuan Ayah untuk menidurkan Jodi malam ini.”
“Baiklah. Jangan khawatir dan fokuslah dengan pekerjaanmula Frans senang menjaga cucu laki- lakinya
“Iya. Baiklah.” Tasya menutup teleponnya sebelum menatap laki-laki di depannya, dengan wajah yang berbinar terkena cahaya lampu. Dia melihat kancing bagian atas bajunya tidak dikancingkan, dan ada memar merah di lehernya.
Seketika, Tasya tercengang. Memar itu pasti bukan karena gigitanku, kan? Ditambah lagi, apa yang kami lakukan di mobil tadi … Oh, ya Tuhan! Rasanya aku ingin menghilang saja! Kalau aku tidak salah ingat, aku duluan yang menciumnya sebelum dia membalas ciumanku … Oh, ya Tuhan! Aku harus berhenti memikirkannya! Tasya memegangi kepalanya dengan kedua tangannya dan tiba-tiba merasakan efek obat itu mulai muncul kembali.
“Ada apa? Apa kamu merasa tidak nyaman?” tanya Elan seketika.
“Aku baik-baik saja!” Tasya terengah-engah dan dia menelungkupkan kepalanya ke dadanya. “Aku kehilangan kesadaranku, dan aku tidak bisa mengingat apapun sekarang, jadi kamu tidak perlu mengingatkanku apa yang terjadi. Aku tidak mau mengingat apapun yang sudah terjadi.”
Mendengar ini, Elan tersenyum. Apa dia mencoba menyangkal apa yang baru saja terjadi?
“Apa yang akan kamu lakukan setelah menciumku dengan paksa tadi?” Elan tidak mau membiarkan semuanya begitu saja jadi dia memaksa Tasya untuk mengingat apa yang sudah terjadi.
“Aku … Cari tahu sendiri saja!” bentak Tasya dengan penuh rasa malu.
Ketika Elan melihat Tasya yang sangat malu, dia akhirnya berhenti mengganggunya lagi.
“Kamu berutang budi padaku.” Ujar Elan sebelum duduk di sofa.
Tasya terdiam.
Meskipun dia sering mendengar orang-orang saling berulang budi, ini pertama kalinya dia berutang budi pada seseorang karena sebuah ciuman! Baiklah! Sepertinya ini adalah cara untuk menyelesaikan semuanya. Aku yakin cepat atau lambat dia pasti akan lupa.
Akhirnya, Tasya menunggu sampai infusnya habis. Setelah itu dia meminta perawat untuk segera melepas infus dari tangannya saat Elan masih sibuk bermain dengan ponselnya sejak tadi. Setelah itu, dia beranjak dari sofa dan menemani Tasya keluar
Ketika mereka sampai di pintu masuk rumah sakit, Tasya memutuskan untuk tidak mau merepotkan Elan lagi. “Aku akan pulang naik taksi.”
“Biar ku antar ke rumah.” Elan tidak mau membiarkan Tasya pulang sendirian ke rumah karena cukup berbahaya untuk orang dengan penampilan seperti dia.
“Tak apa.” tegas Tasya.
Meskipun begitu, laki-laki itu menarik tangan Tasya dengan paksa dan menyeretnya ke mobil Roy.